Permasalahan dalam Wacana

Tidak ada komentar


Permasalahan dalam Wacana

Resume kelompok 4-5
1.    Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kajian disiplin ilmu yang mengkaji wacana Dalam kajian wacana terdapat beberapa macam seperti: tindak tutur, Sosiolinguistik interaksional, Kontribusi Antopologi: Gumperz, Kontruksi Sosiolog: Goffman, Sosiolinguistik Interaksional ke dalam Konteks dan Wacana, dan Pragmatik.
2.    Macam-macam Kajian Wacana
a.    Tindak Tutur
Konsep mengenai tindak ujaran (Speech Acts) dikemukakan pertama oleh John L. Austin dengan bukunya How to Do Things with Words (1962). Austin adalah orang pertama yang mengungkapkan gagasan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif. Ujaran konstantif mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa atau keadaan dunia. Dengan demikian, ujaran konstantif dapat dikatakan benar atau salah. Sedangkan ujaran performatif, tidak mendeskripsikan benar salah dan pengujaran kalimat merupakan bagian dari tindakan. (Austin, 1962: 5)
Austin membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu:
1)   Lokusi, yaitu semata-mata tindak bicara, tindakan mengucapkan kalimat sesuai dengan makna kata atau makna kalimat. Dalam hal ini kita tidak mempermasalahkan maksud atau tujuan dari ujaran tersebut. Misal ada orang berkata “saya haus” artinya orang tersebut mengatakan dia haus.
2)   Ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara mengenai maksud, fungsi dan daya ujaran yang dimaksud. Jadi ketika ada kalimat ”saya haus” dapat memiliki makna dia haus dan minta minum.
3)   Perlokusi, adalah efek yang dihasilkan ketika penutur mengucapkan sesuatu. Misalnya ada kalimat ”saya haus” maka tindakan yang muncul adalah mitra tutur bangkit dan mengambilkan minum.
J.R. Searle kemudian menerbitkan buku Speech Acts yangmengembangkan hipotesa bahwa setiap tuturan mengandung arti tindakan.Tindakan ilokusioner merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Ada lima jenis ujaran seperti yang diungkapkan oleh Searle (1969) antara lain:
a. Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kebenaran atas apa yang dikatakan (misal: menyatakan, melaporkan, mengabarkan, menunjukan, menyebutkan).
b. Direktif, tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya: menyuruh, memohon, meminta, menuntut, memohon).
c. Ekspresif, tindak ujaran yang dilakukanss dengan maksud ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan pada ujaran tersebut (misalnya: memuji, mengkritik, berterima kasih).
d. Komisif, tindak ujaran yang mengikat penutur untuk melakukan seperyi apa yang diujarkan (misalnya bersumpah, mengancam, berjanji).
e. Deklarasi, tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru (misalnya memutuskan, melarang, membatalkan).
Ada kalanya tempat, waktu, suasana, peristiwa, dan keberadaan orang tertentu dimanfaatkan oleh seseorang untuk mendukung dan menunjang keberhasilan tuturan yang dilakukannya kepada mitra tuturnya. Pemanfaatan konteks untuk mendukung keberhasilan tujuan tuturan inilah yang dimaksudkan dengan pendayagunaan konteks yaitu sebagai berikut:
3.    Sosiolinguistik interaksional
Sosiolinguistik interaksional adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional. Dalam bagian ini, Deborah mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional. Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies), Gumperz menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis prosese waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi berbeda cara dan berbeda penekanan.      
Kontruksi Sosiolog: Goffman
Adalah seorang tokoh yang  juga memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja Erving Goffman.Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur terhadap makna penutur. Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik dan mengaplikasikannya  untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tanpa terperhatikan: interaksi sosial bersemuka.
Kerja Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir pada penutur (1974; 1979) terbagun atasa pembagian awalnya melokasikan penutur di dalam kerangka kerja partisipan seperangkat posisi yang individu di dalam batas perseptual tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan empat posisi atau status partisipan: Animator, Author, Figure, dan Prinsipal. Animator memproduk tuturan, Author menciptakan tuturan, Figure dipotret lewat tuturan, dan Prinsipal merespon tuturan.
4.    Etnografi komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).
Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking).Kalau etnografi itu dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu.Karena sosiolinguistik itu lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
5.    Pragmatik
Pragmatik adalah sebuah ancangan yang menguraikan tiga konsep (makna, konteks, komunikasi) yang sangat luas dan rumit (Debora, 2007: 268). Tidak mengherankan bahwa lingkup pragmatik yang begitu luas, sehingga bidang kajian ini mengalami banyak dilema yang serupa dengan yang dihadapi analisis wacana. Salah satu tipe khusus pragmatik adalah model Grice yang beberapa definisinya mencakup banyak bidang yang sama dengan analisis wacana. Teori ini juga menjadi “pusat penelitian pragmatik” (Fasold, 1990: 128).
6.    Anlisis Percakapan
Pada dasarnya percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi. Mey (2001: 137) berpendapat bahwa wujud penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah isi, yaitu aspek yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan dalam percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan: apakah secara eksplisit, melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai macam cara; jenis topik apa yang mengarah pada topik lain dan apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam ini terjadi, dsb. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup: biasanya dalam bentuk tindak ujar taklangsung. Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah hal-hal seperti bagaimana percakapan bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing ‘keberurutan’ dapat dicapai (memberikandan memperoleh giliran atau mekanisme turn-taking, jeda, interupsi, overlap, dll.).
Bila dilihat dari sudut pandang historis, analisis percakapan muncul ditengah-tengah kebingungan teoretis setelah munculnya revolusi linguistik yang digagas oleh Chomsky di akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an. Analisis percakapan ini diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati bahasa nonprofesional (para sosiolog seperti Sacks, Schegloff, dan Jefferson). Mereka melihat bahwa contoh-contoh bahasa yang diberikan oleh para linguis profesional seringkali tidak alami, bahkan sebagian dari contoh-contoh ujaran tersebut tidak muncul dalam percakapan yang alamiah. Kemudian, mereka pun menemukan bahwa aturan-aturan yang dipatuhi dalam percakapan lebih mirip dengan aturan-aturan yang dipakai masyarakat dalam aktivitas sosial daripada dengan aturan-aturan yang terdapat dalam linguistik.
7.    Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic. Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks. Kami melihat bahwa unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural: “unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasi evaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berulang.


Permasalahan dan Solusi dalam Wacana
Permasalah atau kesalahan dalam tataran wacana dapat meliputi:
1.      Kesalahan dalam Kohesi
1.1. Kesalahan Penggunaan Pengacuan
(a)    Karena mengantuk, Anggoro terjatuh ke sungai. Ayahnya mencoba menolong mereka
(b)   Rombongan darmawisata itu mula-mula mendatangi Pulau Madura. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali.
Contoh wacana (a) di atas salah dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan pengacuan yang tepat dalam wacana (a) bukan mereka tetapi dia. Sedangakan wacana (b) sudah tepat karena kata mereka mengacu pada rombongan darmawisata.
1.2   Kesalahan Penggunaan Penyulihan
(c)    Rio dan rian merupakan adalah peljar di SMA NUSAKAMBANGAN. Setelah lulus SMA rio ingin bekerja di Hongkong. Rian juga seperti itu. Ternyata keinginan mereka itu berdada.
Penggunaan kata-kata penyulihan dalam wacana ini kurang tepat. Sharusnya pnyulihan yang tepat untuk wacana trsebut adalah sama. Karena mereka memiliki keinginan yang sama untuk kerja di Hongkong.
1.3 Tidak ada pelesapan
(d)   Sudah seminggu ini Rohmah sering ke rumahku. Rohmah kadang-kadang mengantar jajana dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan menggiring perbincangan kami ke arah sana.
Kata Rohmah dalam wacan di atas penggunaanya kurang efektif. Maka sebaiknya kata Rohmah dilesapkan saja. Shingga wacana di atas menjadi:
(e)    Sudah seminggu ini Rohmah sering kerumah. Kadang-kadang mengantarkan jajanan dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan mengiring perbincangan ke arah sana.
1.4  Kesalahan penggunaan konjungsi
(f)    Pamanku memang berifat sosial untuk pemurah. Beliau rela menyumbang paling sedikit satu juta rupiah untuk pembangunan rumah ibadah.
Dalam wacana di atas bila kita cermati, akan kita temukan kesalahan dalam penggunaan konjungsi. Tepatnya pada kalimat Pamanku mmeang berifat sosial untuk pemurah. Seharusnya menggunakan konjungsi dan.
2        Kesalahan dalam Kohernsi
 Wacana tidak koherns
(g)   Aku diam. Diam seribu bahasa. Bahasa indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebagian besar pnduduk di Indonesia. Indonesia diproklamasikan oleh Sokarno-Hatta. Soekarno-Hatta banyai dipakai sebagai nama jalan. Jalan pelan-pelan banyak anak kecil.
Kekoherensian tidak kita temukan dalam kedua wacana tersbut. Dalam kedua wacana tersebut sring menggunakan pengulangan, tetapi pengulangan tersebut tidak mendukung sebuah gagasan.
Contoh sebuah wacana yang koherens adalah berikut:
(h)   Banyak pahlawan bangsa dimakamkan di pmakaman itu. Mereka gugur dalam pertempuran mlawan penjajah. Sungguh besar jasa para pahlawan itu untuk negeri ini.
3        Tidak ada keutuhan, ketrpautan maupun kesinambungan bahasa
(i)     “kekerapan pemakain sebuah kata hampir tidak dapat diramalkan karena hal itu amat bergantung pada perkembangan kebutuhan dan cita rasa masyarakat pemakainya. Bisa jadi sebuah kata yang dulu amat kerap digunakan, kini hampir tak terdengar lagi dan pada masa yang akan datang mungkin kata itu akan hilang dari pemakaian”.
(j)     “perubahan orientasi dari budaya lisan ke budaya tulis hampir tidak terelakan lagi pada masa sekarang ini. Bahasa indonesia haruslah tidak boleh kehilangan identitasnya sbagai bahasa bangsa. Orientasi itu dapat menimbulkan kontak dalam bahasa tulis”.
Dari kedua wacana di atas, contoh wacana (i) merupakan sbuah wacana yang utuh karena subjek hal itu pada klausa anak kalimat pertama telah menghubungkan klausa itu dengan klausa pertama. Karena hal itu mengacu pada kekerapan pemakaian kata yang terdapat pada klausa pertama. Kalimat kedua menjelaskan informasi pada kalimat pertama.
Contoh (j) bukan sebuah wacana karena kalmat-kalimat di dalamnya tidak menunjukkan adanya keterpautan bahasa ataupun kesinambungan informasi. Stiap kalimat pembntukannya berdiri sendiri, tidak memiliki hubungan semantis di antara proposisi yang terdapat pada kalimat lainnya.


Sumber: Setyawati, Nanik. 2012. Analisis ksalahan berbahasa indonesia teori dan praktik. Surakarta: Yuma pustaka.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.
http://fiedasweet.blogspot.co.id/2015/06/d-pokok-permasalahan-kajian-wacana.html


Khusnul Khotimah_146150_2014 C_resume 4-5

Tidak ada komentar :

Posting Komentar